Minggu, 18 Maret 2012

Salah Kaprah tentang Prinsip Ekonomi Orang Dayak.

Buruh – pekerja kasar bagi orang Dayak tidak menguntungkan, karena dikontrol dan dianggap dimanfaatkan oleh para cukong untuk mendapatkan keuntungan besar. Apalagi saat ini adanya Standar Nadional tentang Upah Minimum Regional (UMR) di Indonesia yang dihitung tidak memenuhi standar kehidupan ekonomi yang cukup adil.
 
Kemiskinan di pulau Jawa-Madura menyebabkan banyak migran pengangguran, kriminal, pelacur, pengemis, abang becak dan lainnya datang ke Kalteng, mencari kehidupan baru yang lebih baik.
 
Misalnya, pelacur di Pal 12 Jl. Tjilik Riwut Palangka Raya, didominasi warga pendatang. Buruh-buruh pelabuhan, bangunan, pembangunan jalan menjadi lahan empuk bagi warga Madura yang di upah sekadarnya oleh para cukong Madura.
 
Wilayah domain ekonomi Dayak adalah Lahan dan Sumberdaya alam. Mereka berladang, berkebun, menanam rotan, pohon-buah-buahan, dalam skala besar. Ekonomi perspektif masa depan jangka panjang. Hutan dipelihara untuk tetap menghasilkan  sumber hewani dan nabati bagi keluarga. Permukiman di tata untuk tidak meluas secara sporadis menghindari kawasan-kawasan yang sakral dan sumber daya bagi kehidupan masyarakat Dayak jangka panjang.
 
Mereka dengan cerdik membangun perladangan berpindah, merotasi masa tanam memelihara kesuburan lahan. Pada awal pembukaan lahan, dilakukan pembuatan sekat bakar. Untuk membasmi hama – penyakit tanaman, lahan di bakar dan diolah mensterilkan lahan dari kera, babi, binatang perusak tanaman dan lahan lari dari lahan yang di bakar, menjadi siap tanam bebas hama-penyakit. Pembukaan lahan dengan cara lain menggunakan herbisida dan pestisida kurang populer karena dianggap berbahaya bagi kesehatan dan hanya bertahan sementara dari serangan hama penyakit tanaman.
 
Tanaman pertama, adalah padi dan jagung dan palawija lainnya. Selama sekitar tiga tahun pada saat kondisi lahan menurun, mulai ditanam tanaman keras berupa karet, rotan, jelutung, pohon buahan dan lainnya. Lahan dibuat jeda, seraya merawat tanaman keras yang ada,  setelah penyiapan tanaman keras tersebut selesai, mereka membuka lagi lahan lain yang dianggap sesuai untuk areal tanam baru. Setelah sekitar 5 (lima) tahun mereka kembali ke lahan pertama tadi untuk kembali mengolah lahan bagi penanaman padi dan palawija serta memelihara tanaman keras yang ada.
 
Kebutuhan protein diambil dari sungai dan hutan, melalui perburuan dan memancing dengan tertib.
 
Hasil dari kegiatan tersebut selama bertahun-tahun amat menguntungkan, dibandingkan kegiatan ekonomi jangka pendek ala Madura tersebut di atas.
 
Mereka berkerja keras memanen hasil tanaman. Karet di sadap dengan turun ke kebun dini hari, sebelum mata hari pertama menyapa pagi, getah karet akan mengucur deras pada dini hari, siang hari getah karet akan mengental.
 
Pengambilan rotan dilakukan secara selektif, rotan yang telah matang di panen dengan menghindari pengrusakan media panjatnya. Memanen rotan adalah kerja yang amat keras, hidup dengan gigitan nyamuk, ancaman ular berbisa, binatang buas, dan jauh dari keramaian duniawi.
Kebun rotan sengaja tidak dibersihkan, karena apabila dibersihkan penyinaran matahari akan merusak anakan rotan dan merusak media panjat. Salah kaprah warga Madura menganggap kebun rotan itu adalah hutan rotan yang disediakan alam untuk mereka.
Kebun rotan sering berasosiasi dengan kebun karet yang menghutan, karena prinsip penanaman rotan yang harus memenuhi prinsip kesenyawaan dengan lingkungannya. Belum pernah ada kebun rotan yang dapat tumbuh baik di lahan terbuka monokultur.
Pola pertanian yang senyawa dengan kemampuan mengalokasikan tenaga kerja secara tepat dan membaca sifat-sifat alam.
 
Karet yang menghutan dengan rotan dan tanaman buah-buahan dianggap warga Madura adalah lahan yang disediakan alam. Dalam sejarah penyebaran karet itu, bahwa karet bukan tanaman endemik (asli) Kalteng, melainkan datang dari Barsilia beratus tahun lalu. Oleh karena itu karet jarang ditemukan di luar areal sepanjang aliran sungai.
 
Media massa selalu menulis, warga Dayak pemalas, tidak mau bekerja keras dan tergantung alam. Sebuah penghakiman yang menambah frustrasi orang Dayak.
 
Kebun buah-buahan  dan kebun yang menghutan dianggap orang Madura adalah karunia alam yang dapat dimiliki dengan keteguhan hati dan semuanya itu lahan Indonesia.
 
Untuk menjual hasil alam dan kebun, maka sarana transportasi yang layak diperlukan. Disinilah buruh pekerja kasar migran memainkan peranan menentukan tarif dan menentukan syarat pengangkutan. Biaya angkutan di atur oleh para jawara pelabuhan sungai dan laut yang ada di Kalteng, yang mematikan usaha masyarakat dengan ekonomi biaya tinggi.
 
Lahan yang ada dikuasai oleh suku Madura yang salah kaprah dengan pola budaya ekonomi Dayak. Lahan tak bertuan .... lahan milik Republik Indonesia, kata mereka. Hati yang keras dan budaya carok digunakan untuk menguasai lahan Republik Indonesia.
 
Pembelaan diri orang Dayak dianggap mengancam rasa persatuan dan kesatuan dan rasialis. Orang Dayak yang tidak mampu bertahan, pergi jauh kepedalaman, menghindari kericuhan di lahannya sendiri.
 
Beberapa dekade terakhir mereka mengangkut kayu hasil penebangan liar dengan perahu Madura yang terkenal ahli mengarungi lautan, siang dan malam. Seluruh potensi ekonomi yang ada dianggap karunia Tuhan bagi mereka dan wajib diambil untuk menghidupi kerabatnya yang semakin banyak datang ke Kalimantan Tengah.
 
Berdasarkan data visual, sebenarnya pendidikan warga Madura yang datang ke Kalteng amat rendah, dibandingkan orang Dayak sendiri, orang Dayak sampai kepelosok rata-rata mampu berbahasa Indonesia dan membaca, sedangkan warga migran Madura hanya sedikit yang mampu membaca.
 
Orang Dayak yang mempertahankan prinsip ekonominya dan tidak mau menjadi buruh kasar dan pekerja amoral dianggap malas dan penakut.
 
Kemudian datanglah usaha eksploitasi hutan besar-besaran, seluruh areal Kalteng dianggap hutan oleh pemerintah pusat. Kebun tradisional yang menghutan adalah hutan dan buruh-buruh migran datang bersama para cukong membabat habis harapan masa depan itu.
 
Seluruh hasil hutan tidak boleh dijual langsung ke luar negeri, tetapi harus transit atau diolah di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur. Transmigran didatangkan dengan gegap gempita. Lahan Gambut satu juta hektare di Kapuas hancur luluh ekosistemnya di buka untuk para migran tersebut. Proyek gigantic yang gagal, menyisakan migran Madura yang ganas dan mudah tersinggung.
 
Para Kiyai berulang kali datang ke Sampit dan Palangka Raya untuk memotivasi kaum migran menggali sumber daya yang ada di Kalteng. Kesuksesan ekonomi jangka pendek menyebabkan migran berbondong-bondong datang ke Kalteng.
 
Lahan tambang modern dan tradisional dipenuhi warga migran, dan yang terhebat adalah migran Madura, memanfaatkan setiap jengkal tanah orang Dayak, mematok dan membangun permukiman, mendatangkan lagi migran Madura secara besar-besaran. Budaya clurit dan carok menjadi momok kepada Dayak yang membela diri dan ketakutan menyingkir dari keramaian dunia fana.
 
Warga Dayak yang taat pengaturan pemerintah terpuruk, mereka ikut Keluarga Berencana, migran Madura tidak. Warga Dayak tidak mendapat subsidi untuk membangun permukiman, warga Madura memperoleh kemudahan mendapatkan lahan dengan alasan program transmigrasi yang menunjang transmigrasi swadaya. Warga Dayak menjadi minoritas yang menyingkir kepedalaman dan ketakutan.
 
Migran Madura tidak pernah di data, karena para pejabat saat itu dari Gubernur RTA. Milono, Gatot Safari Amrih, Edy Sabhara, Suparmanto, dan Warsito Rasman tidak mengijinkan pendataan warga pendatang, karena katanya mereka adalah Saudara kita yang mencari penghidupan yang layak.
 
Warga Madura mulai memanen kebun-kebun warga Dayak, baik di kota mau pun di Desa, setiap perlawanan dianggap menghalangi rasa persatuan kesatuan Indonesia. Para tokoh Madura bangga dengan pekerja Madura yang dianggap berkerja keras dan lebih pintar dari warga Dayak. Mereka memotivasi migran lebih banyak datang ke Kalteng, tanpa seleksi. Sudah menjadi hal biasa, warga Madura memanen kebun dibelakang rumah penduduk warga Dayak, apabila ditanya mengapa demikian, mereka selalu menjawab sudah mendapat ijin dari Tuhan, dan mengancam dengan clurit. Pohon nangka saya yang lebat di belakang rumah di panen oleh seorang Madura dengan membawa gerobak besar. Ketika minta pertanggungjawabannya dia menentukan harga Rp. 500,- (lima ratus rupiah) untuk pohon buah yang katanya tumbuh alami sendiri itu. Diminta harga yang wajar dijawab dengan mengeluarkan clurit.
 
Salah seorang warga Madura di Palangkaraya bernama H. Timbang, setelah kerusuhan diketahui mencaplok tanah warga Dayak sebanyak lebih dari 150 kapling. Jumlah yang fantastis hanya untuk sebuah kekayaan yang layak.
 
Seorang warga Dayak bernama Anes (tahun 1998) yang mencoba meniru pola penguasaan tanah di kota Palangka Raya seperti gaya H. Timbang dikeroyok oleh warga Madura sampai badannya hancur di clurit. Dan pengeroyok tersebut nyata terlihat, menghilang begitu saja. Persoalan tanah dengan warga Dayak selalu diakhiri dengan sweeping pembunuhan oleh warga Madura. Aparat kepolisian tidak berdaya dengan kelihaian menghilang kriminal gaya Madura itu yang didukung IKAMA.
 
Ikatan Keluarga Madura (IKAMA) Palangka Raya menjadi basis legal yang mendukung pola ekonomi Madura itu. Mereka membangun markas IKAMA persis dibelakang rumah sakit dan komplek perumahan TNI Angkatan Darat. Sebuah perisai yang sangat tangguh.
 
Tanah untuk perumahan pegawai Pemda Kalteng, di bagi dan dibayar angsuran kepada seorang Madura bernama H. Tuyan. Mereka mampu memberikan rasa takut kepada pemilik tanah warga Dayak yang telah berkebun di lahan tersebut.
 
Saya mempunyai keluarga yang kawin dengan Batak, Jawa, Sulawesi, Ambon, Banjar, Minang selalu merasa heran, mengapa warga Madura sedemikian aneh polah tingkahnya di rantau orang.
 
Kami kurang memahami apa yang terjadi di tanah Madura sendiri, karena amat langka dan ngeri bagi orang Dayak untuk datang ke sana.
 
Masalah Umum Perekonomian Daerah.
 
a.      Dari wilayah seluas 153.564 Km², rata-rata 11,2 jiwa tiap meter persegi. Atau rata-rata per desa/kelurahan 1409,2 jiwa. Sebaran sebaran penduduk pada wilayah yang demikian luas dan kecilnya jumlah penduduk rata-rata per desa dan kelurahan, menjadi tantangan dalam upaya untuk melakukan pembangunannya.
Isu kekurangan SDM ini diselesaikan pemerintah pusat dengan program tarnsmigrasi dan membebaskan migrasi besar-besaran penduduk khususnya dari pulau Jawa-Madura. Keterbukaan transportasi laut memungkinkan masuk Kalteng dengan bebas. Mutu SDM yang datang ini amat rendah, pada umumnya anggota masyarakat ditempatnya yang kalah dalam bersaing. SDM ini sulit diharapkan dapat membangun Kalteng, dimana mereka masih  berpikir tentang pemenuhan kebutuhan primer dan berpendidikan rata-rata amat rendah dan buta huruf. Sayangnya data para pendatang ini tidak pernah diketahui pasti. Sensus penduduk pun tidak pernah menyentuh mereka. Kalteng menjadi keranjang sampah Nasional.
 
b.     Ekonomi yang berpola hit and run (hantam dan lari) hanya untuk mencari kapital dari sumberdaya alam Kalimantan Tengah dan membawanya ke tempat lain untuk ditransformasi ke bentuk investasi lainnya yang umumnya pada wilayah yang lebih banyak / maju infrastrukturnya. Pola ekonomi yang di dukung dengan insentif migrasi yang tidak terkendali, kesalah pahaman tentang persatuan dan kesatuan Indonesia, setiap usaha penduduk lokal melindungi sumber daya alamnya dianggap menghalangi / mengurangi persatuan dan kesatuan dan rasialis. Upaya pencucian kebelakang (backwash and drain) sumberdaya alam membawa dampak merusak ekosistem pola ekonomi masyarakat Dayak mengurangi kemampuan mereka merotasi / siklus pola tanam pertanian tradisional yang terputus, menghambat adanya income yang diperoleh secara teratur.
 
c.     Luasnya wilayah dihubungkan dengan ketersediaan prasarana transportasi, untuk mobilisasi produksi Daerah, penyebaran barang-barang kebutuhan dasar dan kebutuhan pokok, yang pada dasarnya masih terbatas. Prasarana jalan darat yang masih belum seluruhnya menjangkau pusat dan wilayah-wilayah pemukiman dan pusat pemerintahan. Sedangkan transportasi sungai menghadapi kendala musim dan lamban karena sifat angkutannya dan karena sifat jalurnya. Transportasi massal berupa angkutan laut yang ditujukan kepelabuhan Sampit dan Kumai mendatangkan banyak masalah bagi penduduk Kalteng, karena menjadi sarana migrasi besar-besaran penduduk dari pulau Jawa-Madura tanpa identitas dan arahan dari pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah yang terjebak dalam pemikiran Nasional, mereka yang datang pada umumnya lebih agresif memanfaatkan sumber alam tanpa pengetahuan akan aspek peri kehidupan lokal. Kebanyakan pendatang ini menganggap, segala sesuatu yang berbau lokal dianggap terkebelakang / primitif, mereka mendayagunakan sumber alam untuk tujuan pemecahan masalah kemiskinan dengan perspektif jangka pendek. Partisipasi untuk membangun pola ekonomi tradisional yang telah ada tidak pernah muncul. Kalteng menjadi lahan bagi mayoritas pendatang yang menganggap bumi Indonesia dapat dieksploitasi sebebas-bebasnya. Kerusakan alam yang terjadi dikatakan oleh banyak orang pintar selalu akibat dan sebabnya ditimpakan kepada penduduk asli sebagai perusak lingkungan. Paraturan perpindahan penduduk yang belum jelas telah menjadikan Kalteng sebagai obyek nyata untuk menyandang masalah kemiskinan di pulau Jawa dan Madura yang seharusnya dikelola dengan hati-hati.
 
d.     Posisi letak geografis Kalimantan Tengah, sebagai sebuah satuan wilayah dari suatu negara, yang relatif jauh dan dibatasi oleh laut, mempengaruhi kecepatan, biaya waktu untuk orientasi ke pusat pemerintahan. Masalah ini nyata sebarannya dan akibatnya pada wilayah yang luas itu.
 
Sebaran penduduk yang luas kendala dalam investasi yang ditujukan di seluruh wilayah. Diilustrasikan sekiranya 1.8 juta jiwa terkonsentrasi di satu wilayah pasti penyediaan pelayanan prasarana dan sarana akan dicapai dengan optimal. Air bersih, listrik, pancaran siaran televisi dan radio, telepon dan lain-lain akan mampu menjangkau seluruh penduduk. Dalam kenyataan wilayah dan sebaran penduduk yang luas itulah, menyebabkan investasi  untuk penyediaan prasarana dan sarana menjadi mahal.
Inilah salah satu penyebab kenapa, dengan pembangunan Pelita demi Pelita masih saja hasilnya belum menjangkau luas. Hal inilah yang dimaksud dengan faktor jarak dan waktu. Nilai waktu dan nilai jarak yang lebih mahal dibandingkan dengan Daerah lain. Intinya bahwa terjadinya indeks harga yang lebih tinggi. Dan akhirnya menyebabkan lambannya tingkat pencapaian volume sasaran.
 
Kondisi prasarana perhubungan sangat tampak sebagai suatu masalah. Angkutan sungai menjadi tidak memungkinkan terjadinya arus hasil produksi pertanian dipasarkan secara luas antar wilayah memasukan dan menyebarkan barang-barang kebutuhan pokok ataupun barang-barang kebutuhan dasar mengalami hal yang sama.
Walaupun posisi letak wilayah Kalimantan Tengah berada di tengah-tengah daratan Kalimantan, bahkan di tengah-tengah wilayah nusantara, tetapi belum menjadi wilayah orbitasi transportasi nasional ataupun regional.
 
Kebutuhan dasar pembangunan dan industri, pada dasarnya didatangkan dari luar Daerah. Yang tersedia di Daerah adalah bahan kayu, dan bahan baku tanah untuk pembuatan bata dan genteng, namun yang terakhir itu sangat kecil peranannya.
Tetapi bilamana kayu ini berupa plywood,  bagian terbesar didatangkan dari luar propinsi, karena pabrik bahan bangunan ini lebih dominan yang berada di luar Kalimantan Tengah, walaupun bahan bakunya dari Kalimantan Tengah.  Demikian pula kebutuhan pokok sebagian besar harus didatangkan dari luar propinsi, lebih-lebih barang kebutuhan pokok hasil industri pabrik.
 
Arus orbitasi transportasi penduduk dan barang dari dan ke dalam Daerah Kalimantan Tengah, cukup menarik untuk disimak. Bagian timur Kalimantan Tengah berorientasi dengan pelabuhan di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat dengan pelabuhan sendiri (Sampit dan Kumai) berorientasi dengan pulau Jawa. Sedangkan Palangka Raya, dalam hal ini merupakan hinterland dari Kapuas dan Sampit.
 
Untuk normalisasi kecepatan pembangunan ini maka faktor jarak dan waktu harus menjadi variabel yang diperhitungkan. Selanjutnya faktor tingkat kemahalan yang ditimbulkannya harus menjadi acuan karena menyebabkan indeks harga menjadi tinggi. Yang berarti akan mengurangi pencapaian volume sasaran. Kesemua hal ini mempengaruhi tingkat kemampuan Daerah. Inilah peranan penting Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan perimbangan keuangan tidak saja dengan prosentase rata-rata (kalau menggunakan prosentase) untuk  Daerah, tetapi juga harus menggunakan indek harga berdasarkan tingkat kesulitan dan kemahalan itu.
 
Faktor jarak dan waktu berkaitan pula dengan biaya kegiatan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. Karena jarak maka waktu yang digunakan untuk mengkomunikasikan segala kegiatan pemerintahan dan pembangunan lebih lama.
Untuk hadir di Jakarta, untuk keperluan dalam hitungan “jam”, harus menggunakan waktu dalam hitungan “hari” ditambah dengan hitungan biaya yang harus dikeluarkan. Lamanya waktu digunakan itu menyebabkan tertundanya pelayanan yang lain. Hal ini dialami dalam sektor pemerintah maupun dunia usaha. Nilai waktu ini yang kadang-kadang tidak disadari sebagai menyebab  biaya dan anggaran yang diperlukan menjadi lebih tinggi. Karena banyaknya waktu yang digunakan akan berakibat tertundanya pelayanan atau penyelesaian pekerjaan yang semestinya harus ditangani tepat waktu, adalah merupakan aspek kerugian yang lain.
 
Jalan keluarnya, pembudayaan penggunaan sarana huhungan telekomunikasi, penggunaan sistim manual atau pemograman pedoman, pendelegasian wewenang dan lain-lain. Serta penguasaan bidang tugas dan fungsi masing-masing sangat penting.
 
Sedangkan bagi kebutuhan yang luas, yang sangat mendasar dalam menjawab tantangan itu adalah memperdekatkan titik-titik konsentrasi penduduk dengan memenuhi kebutuhan tersedianya transportasi perhubungan jalan, disusul dengan sarana angkutan yang cukup.
1.     Keberadaan potensi nasional yang ada di Daerah sebagai potensi ekonomi yang menjadi sumber pendapatan masyarakat dan harus diperhitungkan prospek masa depannya. Sumber-sumberdaya yang diperbaharui dan sumberdaya pengganti secara berkesinambungan menjadi andil bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan Nasional.
2.     Berbagai sumberdaya ekonomi utama : hasil hutan atau kayu, sejak lebih dari 30 tahun, masih mengandalkan eksploitasi kayu alam, tentu makin menurun. Sementara hutan budidaya, HTI, sampai saat ini masih belum menggembirakan.
3.     Hasil hutan ikutan berupa : damar, jelutung, katiau, gaharu, rotan-rotanan, bersifat ekstraktif, makin lama makin menipis karena belum ada gerakan budidaya, kecuali rotan untuk jenis tertentu seperti rotan irit dan rotan taman.
4.     Pertanian tanaman pangan dan hortikultura, hampir belum mempunyai bentuk;  masalah varietas dan cultur teknisnya tetap dikaji terus.
5.     Perkebunan : sawit, memberi harapan tapi kontribusi untuk PDRB, daya serap tenaga kerja, masih perlu dikaji. Komoditas yang lain masih belum jelas penggalakannya. Kecuali karet rakyat, ternyata lebih unggul dalam menopang ekonomi masyarakat.
6.     Lahan/tanah : memang luas namun rata-rata kelas rendah tingkat kesuburan.
7.     Industri, masih belum berkembang. Khusus pengolahan kayu pada dasarnya dilakukan di luar Kalimantan Tengah.
8.     Tambang, (1) emas sejauh ini hanya satu yang berproduksi. (2) batu bara, deposit dimiliki, eksploitasi masih mahal karena sistem transportasi belum dimiliki.
9.     Sektor jasa yang dapat diperhitungkan seperti  perdagangan, hotel & restoran, yang lainnya masih kecil.
10.                        Sumberdaya laut, untuk memaksimal pemanfaatannya memerlukan perencanaan yang tepat, serta perlu diketahui potensi secara terukur.
11. Gambaran keadaan tersebut diatas perlu dikaji secara cermat dan mendalam untuk didapat sektor-sektor diantaranya yang menjadi unggulan.
12. Sering didengar bahwa Kalimantan Tengah memiliki sumberdaya alam yang melimpah, perlu dikaji dengan cermat, perlu kerja keras untuk menemukan langkah atau strategi ataupun rencana-rencana kebijakan yang paling tepat untuk menjadikan sumber-sumber potensial itu menjadi potensi riil. Kendala tenaga ahli untuk penelitian dan pengkajian sumberdaya alam, serta program R/D adalah kebutuhan.
 
Tenaga Kerja.
 
1.     Tenaga kerja pada lingkaran ekonomi alternatif dan lapangan usaha ekstraktif adalah masalah kondisi memaksa terjadinya penambangan emas dan penebangan kayu tanpa izin. Pola ekonomi ini terjadi karena kerusakan ekosistem ekonomi tradisional akibat introduksi pola ekonomi pendatang yang berorientasi pendek, memutuskan siklus tanam dan siklus pengolahan lahan pertanian masyarakat lokal.
2.     Penambang emas tradisional, menggunakan mesin penyedot mencapai 6.500 unit atau sekitar 32.500 tenaga kerja yang berada dalam status yang semu lapangan kerjanya. Warga pendatang juga telah memasuki pola ekonomi ini dan amat aktif menambah jumlahnya dari hari ke hari.
3.     Penyaringan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah tahun 1999 untuk formasi 204 orang. Pelamar sebanyak 21.057 orang. Terdiri dari 15.603 SLTA, 1808 DIII dan 4.366 Sarjana. PNS yang diterima sebagian besar masih menampung pendatang yang dari berbagai penjuru tanah air datang memasuki bursa lapangan kerja Kalteng.
4.     Kebutuhan lapangan kerja sangat besar, pencari kerja demikian banyak sementara kesempatan memperoleh pekerjaan masih sangat terbatas. Masalah tenaga kerja Nasional, dibebankan  kepada Kalteng, yang masih belum berkembang pembangunannya dan belum mampu menyelesaikan masalah tenaga kerja setempat.
 

Sumber Daya Buatan.

 
a.      Prasarana fisik, seperti jalan, Pelabuhan Laut, Dermaga Sungai, Pelabuhan Udara, Saluran Pengairan, Telekomunikasi, Radio Televisi, dan lain-lain  dengan segala kondisinya, yang selalu mendapat perhatian dan masih terdengar keluhan-keluhan masyarakat. Terunama berkaitan dengan prasarana jalan. Pola perencanaan prasarana fisik yang belum jelas dan tidak sejalan dengan keinginan penduduk lokal telah berupaya membangun fisik Kalteng dengan memunculkan sebanyak mungkin “bukti” menara gading. Siapa yang pernah memikirkan bahwa dana APBN selama Indonesia ini eksis, tidak pernah diketahui jumlah dan kegunaannya bagi Kalteng, sementara dana APBD yang dikelola Gubernur amat kecil, pada pra otonomi ini dana APBD semakin sulit posisinya, karena pada saat terjepit pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah, yang dilakoni dengan teladan yang kurang baik secara Nasional, dimana semua orang merasa bebas sebebasnya untuk mengarahkan otonomi daerah. Belum ada aturan main dan teladan yang jelas.
b.     Prasana dan sarana lain berupa lembaga keuangan dan penunjangnya, adalah bagian dari sumber daya untuk pertumbuhan Daerah, yang pertumbuhannya sangat tergantung dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan moneter.
Pembangunan Kalteng selalu dihitung oleh pusat dengan analisa cost-benefit, pola ekonomi kapitalis. Selalu ada perhitungan untung-rugi, tetapi tanpa memperhitungkan sisi lain yang harus ditanggung Kalteng, sebagai lahan obyek Nasional untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan masyarakat pulau lain. Adanya subsisidi kegagalan dari pekerja pendatang, mereka diberi insentif melalui berbagai program pembangunan, penduduk asli menjadi penonton yang setia.
 
Karena sifat pembangunan sejak awal merupakan proses pentahapan dari Pelita demi Pelita top down, maka pembangunan daerah juga terkait erat dengan kontrol yang kuat dari pusat terhadap pola pembangunan di daerah. Pola pembangunan kontinue yang seragam ini memerlukan kontrol pusat yang kuat dan pada PJP-I sampai dengan awal PJP-II telah membawa kemajuan-kemajuan berarti bagi pembangunan di daerah, namun tampaknya muncul dampak lain yang harus segera dibenahi. Kontrol terpusat tersebut memang merupakan konsekuensi logis dari kondisi awal daerah / wilayah di Indonesia yang juga berangsur-angsur berkembang dari kondisi yang amat lemah bertumbuh dan berkembang mencapai prestasinya masing-masing.
Hal ini membawa Pelita daerah masih terpaut dengan pola-pola pembangunan makro / nasional. Aspek logis dan khas khasanah kekayaan daerah masih kurang tergali. Hal ini ditandai oleh kurangnya umpan balik perencanaan yang matang yang lahir dari daerah itu sendiri. Inisiatif dari daerah / wilayah nampaknya amat kurang dalam membentuk kualitas rencana di daerah / wilayah. Ketaatan yang kaku terhadap pola perencanaan yang ada menyebabkan kurangnya inisiatif dan pemberdayaan perencana daerah.
Pelita Daerah dari periode pertama sampai saat ini masih kurang membuka nuansa baru yang bersifat penjabaran lebih tajam Pelita Nasional. Kegiatan perencanaan pada umumnya dianggap sebagai ritual resmi dengan liturgi yang kaku pada tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Desa. Kegiatan perencanaan lebih dominan dilakukan oleh aparat pemerintah yang pada umumnya masih memerlukan upaya peningkatan kualitasnya. Ada kesenjangan antara kemampuan perencana dengan tuntutan perkembangan akibat pembangunan yang telah dilakukan. Perencana yang seharusnya berjalan satu langkah di depan kegiatan pembangunan, masih tertinggal dibelakang pembangunan itu sendiri.
Aspek normatif, strategis dan operasional yang menjadi dasar pembangunan daerah masih belum berhasil berkembang di daerah. Aplikasi kaidah nasional dalam pembangunan yang harus dijabarkan lebih tegas di daerah / wilayah lebih banyak dilaksanakan sebagaimana adanya yaitu kurangnya upaya memberi isi yang bernuansa khasanah daerah / wilayah itu sendiri, masih bersifat umum / nasional.
Terlihat bahwa kurangnya upaya di daerah / wilayah untuk memulai aspek pemberdayaan diri sendiri. Pemberdayaan perencanaan pembangunan umumnya muncul dari tingkat pusat dan daerah hanya menanti turunnya perintah untuk melaksanakannya. Mata rantai inisitatif perencanaan dari pusat ke daerah menjadi sangat panjang, sehingga nampaknya terjadi keterlambatan antara pelaksanaannya dilapangan dengan penyampaian pesan yang ada dalam konsep perencanaan tersebut. Sementera di sisi lain, masyarakat bergerak dinamis dan berhadapan dengan perubahan yang cepat. Perencana tertegun menatapi lika-liku mata rantai metode perencanaan yang harus dilakukan, dan terjadi keterlambatan antisipasi perkembangan yang terjadi. Perencanaan di daerah nampaknya bersifat antisipatif dan kurang pro-aktif. Kendati kegiatan pembangunan dapat berjalan dengan lancar di Kalimantan Tengah, namun belum terlihat lahirnya ciri khas yang kuat di daerah yang dapat memperkaya warna pembangunan nasional. Kebanyakan pola pembangunan yang ada merupakan replikasi / ulangan skenario yang diterapkan pada wilayah Indonesia lainnya, sehingga secara fisik telah mengisi kekosongan wilayah / ruang, tetapi secara spiritual masih belum membentuk nuansa pemberdayaan masyarakat secara luas yang diharapkan melahirkan partisipasi aktif dan kreativitas masyarakat.
Kendala lain perencanaan pembangunan sektoral adalah pola koordinasi sektor-sektor pembangunan yang dibina oleh instansi / unit kerja vertikal. Karena sifat hubungan vertikal yang masih lebih kuat pada instansi / unit kerja vertikal tersebut, sering terjadi bahwa perencanaan kegiatan pembangunan di daerah kurang terkoordinir.
Struktur pemerintahan yang ada juga menjadi pembatas dalam upaya koordinasi khususnya yang dilakukan oleh Bappeda terhadap unit kerja / instansi vertikal. Bappeda selaku badan staf Gubernur lebih kapabel melakukan koordinasi terhadap unit kerja / instansi dalam lingkup Departemen Dalam Negeri khususnya Dinas-Dinas atau unit kerja yang secara eselonering berada dalam jangkauan koordinasinya. Seringkali energi perencana di daerah lebih banyak tertuang untuk melakukan padu serasi atau koordinasi unit / instansi vertikal tersebut, sehingga menimbulkan beban waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar yang ditandai dengan rapat-rapat koordinasi yang hampir menyita seluruh waktu kerja efektif Bappeda.
Masalah lain adalah bahwa khususnya untuk program / proyek yang dikontrol langsung oleh pusat, terdapat perasaan perencana bahwa jarang ada program / proyek yang berasal dari bawah dapat diterima langsung oleh pusat, hal ini kadang-kadang wajar saja karena kelemahan mutu dari rencana yang diajukan. Namun tidak jarang pula bahwa penolakan tersebut muncul karena kesenjangan visi antara pusat dan daerah, yang pada akhirnya memerlukan upaya negosiasi yang lama dan bertele-tele untuk mendapat jalan keluarnya. Hal ini menyita energi para perencana tersebut, sehingga mereka enggan melakukan perencanaan mendalam, melainkan lebih banyak melakukan negosiasi atau loby untuk mensukseskan rencananya. Kiat perencanaan yang demikian amat mengurangi kualitas rencana, karena unsur loby atau negosiasi lebih dominan diandalkan untuk mensukseskan rencana daripada penyajian rencana yang optimal.
Sejauh ini Bappeda masih lebih banyak berperan sebagai kantor pos yang meneruskan usul program / proyek. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan secara bersama-sama memperbaiki kualitas unit perencanaan yang melekat pada masing-masing unit kerja / instansi yang juga menentukan mutu rencana yang dikoordinir Bappeda. Kemudian juga terlihat bahwa perkuatan kelembagaan perencanaan pembangunan di daerah bukan hanya dimulai pada sisi perencana yang terkait secara formal, melainkan juga kepada unsur-unsur yang terlibat secara non-formal dalam penyusunan rencana (stakeholders)  seperti masyarakat desa, para tokoh masyarakat dan juga opini yang berkembang dimasyarakat. Upaya memberdayakan perencanaan menjadi tanggungjawab semua pihak dan semua unit kerja / instansi yang terkait dengan meningkatkan mutu melalui kegiatan perencanaan sektornya masing-masing.

7 Prinsip Panutan dan Norma Dayak Kalteng


Kenali Norma Budaya Dayak Kalteng
Menuliskan postingan ini saya sejenak teringat kenangan saat menimba ilmu di kota berhati nyaman “Ngayogyakarto” alias Yogyakarta bin Jogja… Jogja… Jogja
:)sekedar intermezzo
Waktu kuliah dulu banyak banget orang bertanya kepada saya bahkan mendengarkan tentang “cerita miring” seputar orang Dayak dan Kalimantan khususnya Kalimantan Tengah (Kalteng). Banyak teman-teman yang bertanya apa benar “orang Dayak punya ekor?” ; apa benar “orang Dayak itu pemotong leher?“; atau apa benar “orang Dayak itu pemakan manusia?’
Jawaban nyeleneh saya :
  • Orang Dayak punya ekor di depan tapi ekornya kedepan (khusus laki-laki)  sama seperti laki-laki di daerah lain ; :)
  • Orang Dayak pemotong leher (leher sapi, leher ayam, leher kambing) kalo dia bekerja di rumah potong hewan ; :)
  • Orang Dayak pemakan manusia ia waktu kecil yaitu waktu menyusui (kalau ngak makan manusia waktu bayi ngak bakalan saya hidup bisa bertemu sama kamu) :D
Mendingan jangan lagi deh berpikiran yang “aneh” tentang orang Dayak yang ada di Kalimantan, baik itu Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Timur (Kaltim) maupun Kalimantan Barat (Kalbar) coz semua orang Dayak sama seperti masyarakat di daerah lainnya yang punya hati, perasaan, bersosialisasi, saling memelihara dan lain-lainnya alias dll.
Kalo mau fakta tentang Orang Dayak Kalimantan khususnya Dayak Kalteng ini saya punya 7 Prinsip Panutan dan Norma Hidup Orang Dayak Kalteng yang bisa jadi tuntunan rekan-rekan jika hendak berkunjung ke Kalimantan Tengah Bumi Isen Mulang.

Tujuh Prinsip Panutan & Norma Dayak Kalteng

Sumber : Buku Sejarah Kalimantan Tengah

  1. Suku Dayak mempunyai bentuk dan organ tubuh selayaknya seorang manusia, tidak berekor seperti binatang, sebab yang terlihat itu adalah pakaian yang terbuat dari kulit binatang.
  2. Suku Dayak merupakan penghuni atau penduduk asli Pulau Kalimantan
  3. Orang Dayak bukan pemotong leher dan pemakan manusia.
  4. Sifat umum Orang Dayak adalah berani, jujur, peramah, setiakawan dan suka menolong.
  5. Orang Dayak lebih senang mengalah (khususnya terhadap pendatang), rendah hati dan menghormati tetuanya.
  6. Orang Dayak mempunyai kesenian, kebudayaan dan peka terhadap keindahan.
  7. Orang Dayak sadar hukum dan mentaati hukum adat yang diperlakukan padanya.
  8. Orang Dayak menghormati adat dan kepercayaan orang lain, penuh toleransi dan tidak fanatik.
  9. Orang Dayak setuju terhadap perubahan yang tidak melanggar adat, antusia terhadap perkembangan zaman dan tanggap terhadap IPTEK.
Nah… itu dulu postingan saya tentang Kenyataan Seputar Orang Dayak semoga bisa bermanfaat dan menambah pengetahuan rekan-rekan yang ingin mengenal Kalimantan Tengah (Kalteng)
Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung (pesan sederhana yang sesungguhnya penuh makna)

Jumat, 09 Maret 2012

suara buat kota cantik

Pesan singkat :

JUNIO KUNIA SURYADI SUDIRJA, Palangkaraya
Pemuda asli kalimantan tengah, pemuda dayak , yang dimana terdapat darah juga leluhur pantang menyerah dan memilikir darah juang
Sesuatu hal yang dimilikiin setiap anak muda adalah “ semangat” namun kebanyakan disalahgunakan sebagai objek perjuangan , dengan dorongan dan tekat yang membuat saya memberanikan diri sebagai calon walikota palangkaraya priode 2013—2017
Diman sebagai bukti konkret revolusi “pemuda” dan “pemimpi” harus dilaksankan sebagai bukti perjuangan kepedulian,kecintaan,dan semangat juang pembangunan
Tidak banyak kata kata atau kalimat yang terangkai dan terucap dari saya, sebab tindakan yang harus diperjuangankan dan dilakukan sebagai bukti esksisitas perjuangan yang nyata dalam pembangunan
Ada 5 pilar pembangunan atau progam kerja saya jika terpilih jadi walikota palangkaraya priode 2013-2017
1.    Pembangun perumahan permukiman bagi masyarakat menengah kebawah
2.    Perekonomian ditingkatkan dari segi objek wista ,pasar dan pajak daerah
3.    Pendidikan ada 2 hal yang saya kembangkan 1. Sekolah raykat dan pendidikan gratis bagi yang kurang mampu 2. Beasiswa bagi siswa atau mahasiswa yang pintar
4.    Tata ruangan perkantoran dibenah
5.    Meningkatkan mutu tarap hidup bersih dan nyaman
5 progam kerja tersebut sebagai kontrak kerja saya dan terhadap masyarakat kota palangkaraya.

Dilandasakan penuh semangat pembanguan dan ini saatnya pemuda bisa berkarya,bertindak dan bukti semangat juang pergerkan pemuda di era modern
Sebagai pemuda yang masih berlajar bermakhluk sosial seutuhnya dan sebagai seorang pemuda yang memiliki hak dan pembanguan  didaerah tercintanya “kota cantik” palangka raya kota yang memilik pontesi luarbiasa dalam pembangunan kedepan
Izinkan dan doakan saya sebagai pemuda yang berhayal ,bermimpi ini menjadi seorang yang berbhakti didaerahnya yaitu kota “isen mulang”
 
Suara Pemuda “kota cantik”
JUNIO KURNIA SURYADI SUDIRJA

Jumat, 02 Maret 2012

Usaha-usaha agar kepercayaan lokal dapat diakui pemerintah.

Pada tanggal 6 Desember, perwakilan agama Kaharingan dari Kalimantan (Borneo) mengunjungi Departemen Agama di Jakarta dengan harapan agar kepercayaan mereka dapat diakui secara resmi oleh Negara.
Agung S. Ndorong, salah satu anggota dari perwakilan tersebut menyatakan;
"Kami mendaftarkan agama Kaharingan agar diakui oleh negara dan mendapatkan pelayanan yang sama."
Agaknya yang beliau maksudkan adalah berlakunya pencatatan kelahiran, perkawinan dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk pemeluk Kaharingan agar sesuai dengan agama yang mereka pegang. Sementara ini, masyarakat Kaharingan dilihat sebagai orang-orang yang beragama Hindu oleh pemerintah, dan usaha-usaha sebelumnya untuk memberlakukan animisme sebagai golongan dalam KTP juga tidak membuahkan hasil.
Arton mengatakan bahwa pemerintah daerah di Kalimantan tidak pernah membatasi kegiatan pengikut Kaharingan, namun ia berharap kalau pemerintah nasional bisa pengakuan resminya.
Arton dan 14 rekan-rekannya didampingi oleh beberapa tokoh dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang salah satunya, Agung Sasongko, berujar:
"Dalam UUD 1945, penduduk diberi kebebasan untuk menganut agama dan kepercayaannya."
Menteri Agama yang tidak bisa hadir berhubung sibuk akan digantikan oleh sang Sekertaris Jenderal yang telah setuju untuk menemui delegasi tersebut.
Artikel ini diterjemahkan oleh Hannah Mulders dari versi bahasa Inggris - Kaharingan.