Rabu, 18 April 2012

Tentang sebuah lembaga yang mengaku mulia namun dengan naas mengajarkan penindasan

Alkisah ada sebuah perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Jangan kau tanya siapa yang dilahirkan dari institusi ini, bahkan sang pendiri negeri yang membawa bangsanya keluar dari penjajahan Eropa dengan peradaban lebih maju, lahir daripadanya. Selama perjalanan negeri ini, bukan satu atau dua saja lulusan perguruan tinggi ini yang mampu menjadi petinggi negeri. Ya, karena memang di perguruan tinggi ini para mahasiswanya diajarkan berbakti pada negerinya. "Untuk Tuhan, bangsa dan almamater," betapa indah kalimat itu dilontarkan dan diturunkan dari satu generasi ke generasi dibawahnya di kampus yang terkenal di negeri ini.

Lalu, ketika kusadari betul betapa hebatnya perguruan tinggi yang menjadi mimpi ribuan bahkan ratusan ribu para pelajar SMA di negeri ini. Aku bertanya dalam hati, "mengapa negeri ini tak juga adil dan makmur sebagaimana impian yang ditanamkan pada mahasiswanya ketika masa-masa ospek tiba?". Bukankah para petinggi-petinggi bangsa itu adalah mereka yang meneriakkan keadilan pada masa mudanya?

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Liburan tahun ini tiba, sebagaimana tradisi di negeri ini, saat ini adalah saat bagi para perantau kembali ke kampung halamannya. Saat-saat yang dinanti para anak untuk mencium tangan ibunya, saat indah bagi para pejuang hidup untuk bertemu alasan perjuangannya. Tak lepas, perguruan tinggi ini pun lenggang dan banyak mahasiswa, pengajar dan pegawainya berlaku hal yang sama, kembali ke indahnya kampung yang membesarkannya.

Perguruan tinggi yang mulia ini pun mengambil tindakan, bahwasanya dengan alasan keamanan dan minimnya pegawai keamanan yang bertugas, kampus ditutup bagi para mahasiswa dan pengunjungnya. Terasa aneh memang, menutup kampus bagi mahasiswa adalah menutup rumah bagi pemiliknya. "Tapi tak apalah," pikirku sejenak mengingat alasan yang diberikan cukup masuk akal mengingat perguruan tinggi ini belum punya sistem pengamanan yang bagus untuk bisa membedakan mana mahasiswa dan mana yang bukan, meski sudah bepuluh tahun berdiri.

Institusi yang mengaku terbaik di bidang teknologi bahkan tak bisa menciptakan sistem keamanan yang bisa membedakan mana civitas akademika dan mana yang bukan. Institusi ini bahkan kalah dengan sawah para petani, yang meski begitu luas bisa dijaga dari burung oleh satu orang petani saja, dengan tali-tali yang dihubungkan pada orang-orangan sawahnya yang terbuat dari jerami dan pakaian bekas. Ya, aneh memang, cukup aneh.

Perguruan tinggi ini mungkin belum pernah memikirkan nasib para mahasiswa yang tidak pulang, entah karena alasan ekonomi atau yang lainnnya. Padahal, jika tidak pulang, sudah pasti para mahasiswa itu akan berkumpul di rumah mereka yang ada di kota itu. Ya, apalagi kalau bukan kampusnya sendiri, bersilaturahmi dengan keluarganya sendiri di kampus yang sudah terkenal akan eratnya ikatan alumninya itu. Belum lagi mengingat ini adalah bulan agustus, dua bulan lagi menuju batas waktu wisuda di tahun ini, dua bulan perjuangan merealisasikan janji pada sanak keluarga di rumah. "Ya, mungkin para petinggi kampus belum sempat memikirkannya," pikirku dalam hati menenangkan diri.

Tiba-tiba, ketika para mahasiswa sedang menikmati masa-masa liburnya tersebut, terdengarlah sebuah kabar bahwasanya akan adan pengangkutan barang-barang yang "dianggap" sampah dan merusak estetika kampus, yang berada di kampus terutama di sekitar sekretariat organisasi mahasiswa. Ya, estetika sudah menjadi polemik sejak lama di kampus ini. Kampus ini sungguh berantusias sangat besar untuk menjadi universitas kelas dunia, "world class university in 2025" begitulah slogan yang terlihat di peta strategis perguruan tinggi ini. Tidak banyak yang tahu estetika seperti apa yang harus dicapai untuk menjadi perguruan tinggi kelas dunia, namun yang jelas apapun yang terlihat berada di luar ruang sekretariat mahasiswa akan segera naik menuju truk berbak besar.

Tahun lalu, hal yang serupa dijalankan dan tentunya mendapatkan perlawanan dari para mahasiswa. Beberapa petugas keamanan berusaha mengangkut kursi dan meja para mahasiswa dengan alasan tidak elok dilihat. Tentu saja, para mahasiswa melawan karena memang meski jelek, barang-barang itu masih berguna dan bahkan sangat penting.Adu argumen pun terjadi antara petugas dan mahasiswa, yang satu berjuang agar tidak dipecat oleh perusahaan outsourcing yang bekerja sama dengan perguruan tinggi tersebut dan yang satu lagi berjuang akan haknya yang berusaha direbut dengan alasan estetika semata.

Mahasiswa bukan tidak ingin kampusnya, rumahnya, terlihat indah dan elok, namun bukan dengan mengorbankan hak para penghuninya, pikir mereka. Jika saja para petinggi kampus benar-benar berniat, harusnya truk berbak besar itu datang jangan hanya membawa udara kosong. Harusnya mereka membawa meja dan kursi yang sesuai dengan estetika yang mereka impikan, untuk menggantikan kursi dan meja reot yang dihasilkan mahasiswa dari usaha mereka yang tak seberapa. Bukan seperti para pamong praja yang diboncengi kepentingan pengusaha, datang merangsek pasar tradisional dengan alasan pembangunan. Tak sadarkah mereka bahwa para mahasiswa ini sedang belajar ilmu dan tentunya juga prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan ketika nanti akan menerapkannya? Atau inikah yang sedang diajarkan pada mereka?

Belum lagi karya-karya seni mahasiswa di unit kemahasiswaan yang begitu besar sehingga tak cukup disimpan dalam ruangan. Patung-patung kebudayaan, maskot-maskot kampanye lingkungan dan ornamen-ornamen seni tradisional yang dibuat bukan cuma dengan kepala, tapi juga dengan jiwa. Jiwa yang berkeinginan berkarya, jiwa yang melestarikan lingkungan dan jiwa yang bangga pada kampung halaman dan kearifan lokalnya. Semua karya itu bukannya di apresiasi justru akan berakhir di mimpi terburuknya, sebuah truk berbak besar. Jika dahulu akan ada perlawanan, maka di tahun ini tidak. Para patung dan maskot itu tak mampu bangkit, hidup dan melawan. Para kursi reot itu akan tetap diam dan membisu melihat penindasan.

Sebuah kebijakan yang bertopeng, akhirnya membuka wajah busuk dan menjijikannya. Lalu, di sore hari dimana truk berbak besar itu datang, para mahasiswa diam di kediamannya masing-masing. Banyak diantara mereka sedang menonton berita tentang negerinya. Tentang pamong praja yang mengangkat gerobak pedagang kaki lima. Tentang para preman yang mengancam warga meninggalkan tanah leluhurnya karena akan di bangun sebuah pabrik gula. Tentang silat lidah para penguasa dan wakil rakyat, sang pembuat kebijakan bagi rakyatnya. Tentang penindasan di negerinya yang bukan hanya di halalkan namun juga diajarkan kepada generasi-generasi di bawahnya.

Dan ketika nanti, mereka para mahasiswa itu sudah menjadi tua dan memegang kuasa. Seorang muda bertanya pada mereka, mengapa penindasan demi penindasan berbalut kebijakan itu masih megah berdiri? Lalu, jawab mereka "Tenang saja dek, karena nanti kau juga akan diajarkan berbuat demikian dan kami pun dididik dengan cara ini".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar