Rabu, 15 Februari 2012

Teori Hukum dalam Model Hukum Menurut Black dan Dragan Milovanovich.
Donal Black menjelaskan ada dua model hukum, meskipun hal ini bukan berarti seolah-olah hukum dipilih sedemikian rupa sehingga akan menjadi reduksionis, akan tetapi hal ini bertujuan agar dapat mempertajam wilayah analisis terhadap keragaman teori yang sering kali dipahami secara campur aduk, sehingga dengan demikan wilayah itu menjadi jelas ada pada posisi mana apabila seseorang menjelaskan tentang hukum atau teori hukum. Dua model menurut Donal Black yang senada dengan pendapat Dragan Milovanovick, yaitu :
-        Jurisprudentie Model.
Dalam model ini kajian hukum lebih memfokuskan kepada produk kebijakan (aturan/rules). Menurut model ini proses hukum berlangsung ditata dan diatur oleh sesuatu yang diosebut sebagai logic (logika/sistem hukum). Hukum dilihat sebagai sesuatu yang bersifat mekanisme dan mengatur dirinya sendiri melalui rules dan logika, dan olehkarenanya penyelesaian masalahpun disini lebih mengandalkan kemampuan logika tadi
-        Sociological Model.
Dalam model ini fokus kajian hukum lebih kepada struktur sosial. Kajian ini tentu saja lebih kompleks dari sekedar hukum sebagai produk. Dalam model sosiologi ini yang dipentingkan adalah keragaman dan keunikan dan menempatkan seseorang sebagai penliti agar memudahkan untuk melihat proses secara utuh dengan tujuan akhir beraksud untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang ada dalam realitas sebenarnya.
C. Teori Hukum Menurut Jan Gijssels pemikiran kontinental. Menurut mereka teori hukum merupakan disiplin mandiri yang perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait erat dengan Ajaran Hukum Umum. Kesinambungan antara Teori Hukum dengan Ajaran Hukum Umum yaitu :
-        Teori hukum sebagai lanjutan dari ajaran hukum umum memiliki obejk disiplin mandiri, suatu tempat diantara Dogmatik Hukum disatu sisi dan Filsafat Hukum disisi lainnya.
-        Sama seperti ajaran hukum umum dewasa ini, Teori Hukum setidaknya oleh kebanyakan dipandang sebagai ilmu a normatif yang bebas nilai, ini yang persisnya membedakan Teori Hukum dan Ajaran Hukum Umum dan Dogmatik Hukum.
Untuk memahami apa itu Teori Hukum, khususnya batas-batas wilayahnya persepsi Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, berikut ini penjelasan secara singkat mengenai :
1. Dogmatik Hukum (Rechtsdogmatiek) atau Ajaran Hukum (Rechtsleer).
Dalam ati sempit bertujuan untuk memaparkan dan mensistematisasi serta dalam arti tertentu juga menjelaskan hukum positif yang berlaku. Dogmatik Hukum (Rechtsdogmatiek) atau Ajaran Hukum (Rechtsleer) tidak dapat membatasi pada suatu pemaparan dan sistematis melainkan secara sadar mengambil sikap berkenaan dengan butir-butir yang diperdebatkan jadi Dogmatik Hukum (Rechtsdogmatiek) atau Ajaran Hukum (Rechtsleer) dalam hal-hal yang penting tidak hianya deskriptif melainkan juga perspektif (bersifat normatif).
2. Filsafat Hukum.
Yaitu filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Menurut mereka Filsafat Hukum memiliki telaah meliputi :
-        Ontologi Hukum (penelitian tentang hakekat dari hukum)
-        Aksiologi Hukum (penentuan isi dan nilai)
-        Ideologi Hukum (ajaran idea)
-        Epistemologi Hukum (ajaran pengetahuan)
-        Teologi Hukum (hal meneetukan makna dan tujuan hukum)
-        Ajaran Ilmu dari Hukum (meta-teori dari ilmu hukum)
-        Logika Hukum
3. Hubungan Dogmatik Hukum dengan Teori Hukum.
1.   
1.    Dogmatik hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal maka teori hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum ini.
2.    Dogmatik hukum berbicara tentang hukum, teori hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum.
3.    Dogmatik hukum mencoba lewat teknik-teknik interprestasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada pandangan pertama tidak dapat diterapkan pada suatu masalah konkret, maka teori hukum mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik interprestasi, tentang sifat memaksa secara logical dari penalaran interprestasi dan sejenisnya lagi.
2.    4. Hubungan Filsafat Hukum dengan Teori Hukum.
3.    5. Teori Hukum dan Ilmu Lain yang Objek Penelitiannya Hukum.
1.    Jika teori hukum mewujudkan sebuah meta-teori berkenaan dengan dogamtik hukum maka filsafat hukum memenuhi fungsi dari sebuah meta-disiplin berkenaan dengan teori hukum.
2.    Secara structural teori hukum terhubungkan pada filsafat hukum dengan cara yang sama seperti dogmatika hukum terhadap teori hukum.
3.    Filsafat hukum merupakan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan teori hukum.
4.    Filsafat hukum sebagai ajaran nilai dan teori hukum dan filsafat hukum sebagai ajaran ilmu dari teori hukum.
5.    Filsafat hukum sebagai ajaran ilmu dari teori hukum dan sebagai ajaran pengetahuan mewujudkan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan teori hukum tidak memerlukan penjelasan lebih jauh, mengingat filsafat hukum mangambil sebagian dari kegiatan-kegiatan dari teori hukum itu sendiri sebagai subjek studi.
Teori hukum secara esensal bersifat interdisipliner, hal ini mengandung arti bahwa teori hukum dalam derajat yang besar akan menggunakan hasil-hasil penelitian dari berbagai disiplin yang mempelajari hukum (Sejarah Hukum, Logika Hukum, Antropologi Hukum, Sosiologi Hukum, Psikologi Hukum dan sejenisnya).
Tipikal dari teori hukum bahwa dalam hal ini ia mamainkan peranan mengintegrasikan, baik yang berkenaan dengan hubngan antara disiplin-disiplin ini satu terhadap yang lainnya maupun yang berkenaan dengan integrasi hasil-hasil penelitian dari disiplin-disiplin ini dengan unsur-unsur dogmatika hukum dan filsafat hukum.
D. Teori Hukum Menurut J.J.H. Bruggink.
Bruggink menjelaskan teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan.
Menurut Bruggink definisi diatas memiliki makna ganda, yaitu dapat berarti produk yaitu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoritik bidang hukum) dan dalam arti proses yaitu kegiatan teoritik tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoritik bidang hukum sendiri.
Disamping itu teori hukum menurut Bruggink mengandung makna ganda lainnya yaitu dalam arti luas (hal itu menunjuk kepada pemahaman tentang sifat berbagai bagian cabang sub disiplin teori hukum) dan dalam arti sempit (berbicara tentang keberlakuan evaluatif dari hukum, terakhir adalah dogmatika hukum, atau ilmu hukum dalam arti sempit).
Untuk mengulas persoalan diatas lebih jelas berikut akan sedikit diuraikan apa yang menjadi bagian dari teori hukum dalam arti luas, diantaranya sebagai berikut :
1. Sosiologi Hukum
Mengarahkan kajian pada keberlakuan empiric atau factual dari hukum, jadi lebih mengarah pada kenyataan kemasyarakatan. Dengan kata lain sosiologi hukun adalah sebagai teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan kenyataan pada masyarakat. Sosiologi hukum terdiri dari sosiologi hukum empirik dan sosiologi hukum kontempelatif.
2. Dogmatik Hukum
Menurut Bruggink dogmatika hukum adalah ilmu hukum (dalam arti sempt) yang merupakan bagian utama dalam pengajaran pada fakultas-fakultas hukum. Objek dogmatika hukum terutama adalah hukum positif yaitu sistem konseptual atran hukum dan putusan hukum, yang bagian intinya ditetapkan (dipositifkan) oleh para pengemban kewenangan hukum dalam suatu masyarakat tertentu. Perumusan aturan hukum disebut pembentukan hukum, sedangkan pengambilan keputusan hukum disebut penemuan hukum.
3. Teori Hukum dalam Arti Sempit.
Tentang kajian ini nampak belum begitu jelas, karena kajian (studinya) berada pada wilayah dogmatika hukum dan filsfat hukum. Filsafat hukum memang adalah meta-teori untuk teori hukum dan mengingat teori hukum adalah meta-teori untuk dogmatika hukum. Jadi pada dasarnya adalah antara teori yang lebih tinggi dan yang paling rendah pada intinya pengaruh satu sama lainnya.
4. Filsafat Hukum.
Filsafat hukum adalah induk dari semua disiplin yuridik, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum, juga saking fundamentalnya sehingga bagi manusia tidak terpecahkan karena masalahnya melampaui kemampuan berpikir manusia.
Bruggink memberikan ikhtisar filsafat hukum objeknya adalah landasan dan batas-batas kaedah hukum, tujuannya adalah teoretikal, perspektifnya internal, teori kebenarannya adalah teori pragmatik dan proposisinya yaitu informatif tetapi terutama normatif dan evaluatif.
BAGIAN EMPAT.
HUKUM DAN PARADIGMA.
A. Apakah Paradgma itu ?
Dalam bahasa Inggris “paradigm”, dari bahasa Yunani “paradeigma” , dari “para” (disamping, disebelah) dan “dekynai” (memperlihatkan ; yang berarti ; model contoh, arketipe, ideal). Menurut Oxfor English Dictionary “paradigm” atau paradigma adalah contoh atau pola. Akan tetapi didalam komunitas ilmiah paradigma dipahami sebagai sesuatu yang lebih konseptual dan signifikan, meskipun bukan sesuatu yang tabu untuk diperdebatkan.
Konsep paradigma yang diperkenalkan oleh Khun kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs dalam sosiologi. Konsep paradigma Khun lebih kepada sesuatu yang bersifat “metateoritis”. Chalmers sendiri menjelaskan tentang karakteristik paradigma, yang meliputi :
-        Tersusun oleh hukum-hukum paradigma dimaksud dan asumsi-asumsi teoritis yang dinyatakan secara eksplisit.
-        Mencakup cara-cara standar bagi penerapan hukum-hukum tersebut kedalam beragam situasi dan kondisi.
-        Mempunyai instrumentasi dan teknik-teknik instrumental yang diperlakukan guna menjadikan hukum-hukum tersebut berjaya didunia nyata.
-        Terdiri dari beberapa prinsip metafisika yang memandu segala karya dan karsa didalam lingkup paradigma dimaksud.
-        Mengandung beberapa ketentuan metodologis.
B. Paradigma Dominan dalam Ilmu.
Dari sekian banyak paradigma dominant dalam ilmu, paling tidak dapat dijelaskan ada tiga paradigma yang dominan yaitu positivisme, interpretivisme, dan critical studies. Namun demikian mendampingi ketiga paradigma tersebut ada dua paradigma besar lainnya yaitu feminisme dan post modenisme.
C. Paradigma Ilmu Hukum.
Soetandyo Wignyosoebroto, menjelaskan tentang paradigma penting dalam hukum yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Paradigma Positivistik.
Aliran filsafat yang berkembang di Eropa Kontinental (khususnya Perancis) dengan beberapa eksponen terkenal diantaranya Henri Saint Simon dan August Comte.
Positivisme merupakan paham yang menganut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai sesuatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang macam pra-konsepsi metafisis yang subyektif sifatnya.
Disini hukum tidak lagi dikonsepsi sebagai atas moral meta yuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex.
Paling tidak ada dua positivisme hukum sebagaimana dijelaskan Khuzaifah Dimyati, yaitu positivisme yuridis (bahwa hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu dioleh secara ilmiah) dan positivisme sosiologis (hukum ditanggapi terbuka bagi kehidupan masyarakat, yang harus diselidiki melalui metode-metode ilmiah).
2. Paradigma Pasca-Positivistik ; Realitas Dekonstruksi Melalui Interaksi.
Melepaskan diri dari karakteristik berpikir kaum posivistik, muncul pemikiran yang oleh Colin disebut kaum social contructivist. Meski kaum ini memiliki keleluasan dalam ragam kajiannya tetapi paling tidak ada delapan posisi argumentative sebagaimana dikatakan Soetandyo Wignyosoebroto, yaitu etnometodologi, relativisme budaya, konstruktivisme sosial Bergerian, relativitas linguistic, fenomenologi, simbolisme fakta sosial, paradigma konvensi, dan juga termasuk paradigma argumentative yang hermeneutic.
3. Paradigma Hermeneutik.
Kajian atau paradigma Hermeneutik atau yang sering disebut interpreatif mencoba membebaskan kajian-kajian hukum dari otorianisme para yuris positif yang elitis secara jelas dan tegas menolak paham universalisme dalam ilmu hukum, khususnya ilmu yang berseluk beluk dengan objek manusia berikut masyarakat, gantinya relativisme itu yang diakui. Kajian atau paradigma hermeneutik dalam ilmu hukum membuka kesempatan kepada para pengkaji hukum untuk tidak hanya berkutat demi kepentingan profesi yang ekslusif semata. Pendekatan ini dengan strategi metodologisnya menganjurkan to learn from people, mengajak para pengkaji hukum dari perspektif para pengguna atau pencari ekadiilan.
BAGIAN 5
: HUKUM SEBAGAI SISTEM
A. Teori Sistem Dalam Ilmu
Bagi kebanyakan pemikir, sistem terkadang digambarkan dalam 2 hal yaitu sebagai suatu wujud (entitas) yaitu sistem biasa dianggap sebagai suatu himpunan bagian yang saling berkaitan yang membentuk suatu keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan  satu kesatuan, atau yang kedua sistem mempunyai makna metodologik yang dikenal dengan pengertian umum pendekatan sistem (System Approach) yang pada dasarnya merupakan penerapan metode ilmiah didalam memecahkan suatu masalah atau menerapkan kebiasaan berfikir atau beranggapan bahwa ada banyak sebab terjadinya sesuatu didalam memandang atau menghadapi saling keterkaitan yang berusaha memahami adanya kerumitan didalam banyak benda sehingga terhindar dari memandangnya sebagai sesuatu yang amat sederhana. Bila ditinjau kebelakang, dapat dilihat makna dari sistem itu sendiri yang diantaranya :
1. Sistem digunakan untuk menunjukkan suatu kesimpulan atau himpunan benda-benda yang disatukan  atau dipadukan oleh suatu bentuk saling ketergantungan yang teratur.
2. Sistem digunakan untuk menyebut alat-alat atau organ tubuh secara keseluruhan yang secara khusus memberikan andil atau sumbangan terhadap berfungsinya fungsi tubuh tertentu yang rumit tetapi vital.
3.  Sistem yang menunjukkan himpunan gagasan (ide) yang tersusun, terorganisir, suatu himpunan gagasan, prinsip, doktrin, hukum dan sebagainya yang membentuk satu kesatuan yang logik dan dikenal sebagai isi buah pikiran filsafat tertentu, agama atau bentuk pemerintahan tertentu.
Ciri-Ciri Sistem
Sistem memiliki ciri-ciri pokok yang luas dan bervariasi yang mana dijelaskan oleh beberapa ahli diantaranya sebagai berikut :
1.   Sistem itu bersifat terbuka atau pada umumnya bersifat terbuka. Dikatakan terbuka jika berinteraksi dengan lingkungannya dan sebaliknya dikatakan tertutup jika mengisolasikan diri dari pengaruh apapun. (Menurut Elias M. Awad).
2.   Sistem mempunyai tujuan sehingga perilaku kegiatannya mengarah pada tujuan tersebut/purposive behavioiur. (Menurut William A. Shrode & Dan Voich)
3.   Setiap sistem mempunyai batas yang memisahkannya dari lingkungan, tetapi walau sistem mempunyai batas tetapi bersifat terbuka. (Menurut Tatang M. Amirin).
B. Teori Sistem Dalam Hukum
Asumsi umum mengenai sistem mengartikan kepada kita secara langsung bahwa jenis sistem hukum telah ditegaskan lebih dari ketegasan yang dibutuhkan oleh sistem jenis manapun juga. Dimana sangat penting mempertimbangkan pandangan umum mengenai sistem dasar yang terdapat pada definisi-definisi dan jenis-jenis ideal yang dikemukakan dalam teori sistem secara umum.
Dalam pelaksanaannya, para ahli hukum berharap dapat menemukan yang dimaksud dengan “sistematis”, yang mana diharapkan dapat menimbulkan sifat yang lazim dan bisa diciptakan bebas dari prasangka dan penyimpangan yang ditemukan pada beberapa perkembangan konsep yang berhubungan dengan suatu disiplin ilmu khusus.
Alasan penyelidikan terhadap sistem teori umum adalah untuk memberikan semacam fokus kesadaran kita akan berbagai macam teori sistem hukum dan kebanyakan dari konsepsi-konsepsi sistem yang ditemukan pada teori sistem umum memperlihatkan inti dari ciri-ciri lazim yang digunakan dunia. Dari banyaknya pendapat yang muncul, hampir kesemuanya mengacu kepada 2 hal yakni hubungan-hubungan tersebut harus membentuk jaringan dimana setiap elemen saling terhubung baik langsung atau tak langsung, dan kedua adalah jaringan tersebut haruslah membentuk suatu pola untuk menhasilkan struktur pada suatu sistem. Selain itu juga muncul pula teori para ahli mengenai sistem hukum ini, antara lain
1. H.L.A.Hart, dengan teorinya Primery Rules (kewajiban manusia untuk bertindak) dan Secondary Rules (aturan untuk menentukan suatu aturan lain yang sah)
2. Ronald Dworkin, dengan teorinya Content Theory (Pemahaman bahwa hukum yang meliputi prinsip-prinsip, politik, standar-standar dan aturan)
3.  Anthony Allotts, dengan teorinya Communications System (hukum merupakan suatu komunikasi yang terikat antara manusia)
4. McCormick dan Weinberger, dengan teori mereka (Teori Kelembagaan dan Hukum dimana hukum merupakan suatu norma dasar).
BAGIAN 6
TEORI KEOS DALAM HUKUM
A. Adakah Teori Keos ?
Didalam teori Keos ini mencoba menerangkan secara lebih baik suatu tatanan akan selalu bergerak dinamis, berubah terus menerus dan sulit diprediksi yang intinya melihat dunia secara berbeda dan dari pandangan yang statis dan kaku yang menurut beberapa ahli diantaranya Edward Lorenz, Benoit Mandelbrot, James Gleick bahwa Teori Keos adalah sesuatu yang susah diprediksi dan ada dimana-mana.
B. Teori Keos Dalam Hukum
Teori Keos mulai dikenal didalam sistem hukum adalah pada akhr tahun 1980-an yang dikemukakan Charles Sampford dalam bukunya The Disorder of Law; A Critique of Legal Theory, yang berpendapat bahwa teori hukum tidak hanya muncul atau berasal dari suatu sistem yang sistematis tetapi dapat juga muncul dari suatu keadaan atau kondisi masyarakat yang mana masyarakat selalu menjalin hubungan yang tidak dapat diprediksi dan tidak sistematis (teori keos).
C. Mengapa Teori Sistem Gagal ?
Menurut Sampford, Teori sistem gagal dikarenakan bahwa masing-masing mencakup pembentukan sistem untuk menggabungkan prestasi dari banyak pemikiran dalam sistem itu, apakah untuk penciptaan peranan, muatan prinsip-prinsip atau fungsi dari lembaga-lembaga. Kebanyakan hanya untuk mengejar sasaran sehari-hari secara normal saja, tetapi hal ini tidak dapat mewakili cakupan aktivitas yang dihasilkan oleh pemikiran lain karena aktivitas tidak dapat dilambangkan sebagai sistematis walaupun banyak usaha untuk membuatnya jadi sistematik tetapi seperti yang dikatakan oleh Dewey, bahwa “bekerja atas fakta” baik dengan membuat sistem yang sesuai dengan fakta maupun dengan mengubah fakta hingga sesuai dengan sistem dan sebagaimana konsekuensi bahwa fakta itu sendiri tidak dipandang sebagai terorganisir dan sistematis.
D. Teori Keos Dari Jacques Derrida
Pandangan lain tentang Keos adalah menurut Derrida yaitu Dekonstruksi, pengertiannya adalah alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Dekonstruksi dapat juga dijadikan sebagai upaya membalik secara terus menerus hirarkis oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya.
Derrida sebagai salah seorang pemikir post-strukturalis lebih mampu mengakomidasi dinamika, ketidakpastian, gejolak dan kegelisahan-kegelisanan yang mencirikan budaya Keos yang menurutnya kegelisahan merupakan akibat dari cara tertentu yang diimplikasikan dalam permainan sehingga dapat menciptakan kreatif tanda dan kode-kode yang tanpa batas dan tidak terbatas.
Dekonstruksi Derrida bagi Ilmu Hukum memberikan alternatif pemahaman teks, yang berbeda dari model pemahaman teks yang konvensional dan formal dalam hukum yang cendrung dianggap sesuatu yang sudah jadi yang mana gangguan kecil yang muncul dianggap sebagai perusak yang pada akhirnya tidak dapat memberikan jaminan kepastian teks, tetapi menurut Derrida bahwa ada dua cara penafsiran yaitu upaya untuk merekonstruksi makna atau kebenaran awal/orisinil dan secara eksplisit membuka pintu indeterminasi makna didalam sebuah permainan bebas sehingga pemikiran Derrida merupakan bentuk perlawanan terhadap model penafsiran teks yang sudah mapan, yang dalam ilmu hukum cenderung untuk ditolak, dianggap pasti dan sudah jadi.
BAGIAN 7
MENUJU PEMAHAMAN HUKUM POST – MODERNIS
A. Pesona Post – Modernis
Post – Modernis ini merupakan istilah yang kontroversial. Di salah satu pihak istilah ini kerap digunakan dengan cara sini dan berolok-olok, baik dibidang seni dan filsafat, yaitu dianggap sebagai sekedar mode intelektual yang dangkal dan kosong atau sekedar refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan-perubahan sosial yang kini berlangsung, bahkan dalam kamus The Modern – Day Dictionary of Received Ideas merumuskan “Post Modernis adalah kata yang tidak punya arti.
Sedangkan Post Modernisme lebih mengedepankan pandangan bahwa berbagai lapangan dan spesialisasi ilmu merupakan strategi utama atau kesepakatan dimana realitas dapat dibagi, terutama sebagai upaya serius untuk mencapai kebenaran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam mencari kekuasaan. Pandangan ini sekaligus menjelaskan sentralitas tesis Nietzsche kehendak untuk kuasa dalam epistimologis kontemporer dimana pencaharian kebenaran selalu diartikan membangun kekuasaan. Penekanannya terhadap sifat arbiter dari struktur argumen dan retorika bahasa tetap merupakan bagian yang penting sebagai senjata kritik dekonstruksi postmodernisme. Menurut Lyotard, postmodernisme lebih kepada sebuah gagasan untuk meruntuhkan atau menolak metanarasi.
B. Teori Hukum Postmodernis
Hukum dalam dunia Postmodernis merupakan wilayah yang memiliki pesona berbeda dengan pandangan modernitas, karena dalam dunia Postmodernis sebagaimana dijelaskan oleh salah seorang tokohnya yang paling berkibar Jean Baudrillard, wilayah ini merupakan suatu wilayah imajinasi, wajah simulacra yang beranak-pinak dan berekstase sedemikian rupa hingga mencapai dunia imajiner hyperrealnya sendiri. Seluruh realitas akan digenang oleh berlapis-lapis duplikasi simulacra sehingga tidak ada kemungkinan lagi untuk membuat semacam jarak reflektif, inilah salah satu bentuk paradoks dan hingar bingarnya Postmodernis. Indah namun absurd dan membingungkan.
Dapat dipastikan bahwa pengaruh Postmodernis secara fundamental hanya melintas sebagai suatu wacana kritis dan alternatif dalam tataran teoritis mengingat sulitnya aliran ini untuk dipahami secara utuh. Meski ilmu hukum sendiri bersifat terbuka terhadap berbagai serangan, termasuk aliran post-modernis namun gaungnya hanya berkisar diantara/terhadap dasar keilmuan, landasan totalisasi atau kelemahan-kelemahan lainnya.
Ini dapat dipahami karena perbedaan fundamental teori hukum modern dan post modernis. Secara umum kita dapat mengatakan bahwa teori (hukum) modern cenderung menjadi absolut, rasional dan menerima posibilitas penemuan kebenaran, namun sebaliknya dengan hal itu teori post modernis cenderung menjadi relatifistik dan terbuka kemungkinan irasionalitas karena kecenderungannya membuka fenomena model emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal dan lain-lain.
C. Critical Legal Studies
Ada beberapa varian dalam arus pemikiran ini, pertama, mencoba mengintegrasikan dua paradigma yang bersaing yakni konflik dan konsensus (Roberto M. Unger). Kedua, pemikiran Marxis yang mewarisi kritik terhadap hukum liberal yang hanya dianggap melayani sistem kapitalis (David Kairys). Ketiga, metode ekletis yang membaurkan sekaligus perspektif strukturalis fenomenologis dan neo Marxis.
Gerakan studi hukum kritis meski hanya sebuah fenomena di Amerika, percaya bahwa logika dan struktur hukum muncul dari adanya power relationships dalan masyarakat. Kepentingan hukum hanyalah untuk mendukung kepentingan atau kelas dalam masyarakat yang membentuk hukum tersebut. Penganut aliran ini bermaksud membongkar atau menjungkirbalikkan struktur hierarkis dalam masyarakat yang tercipta karena adanya dominasi, dan usaha-usaha itu akan dapat dicapai dengan menggunakan hukum sebagai sarananya, dengan itu maka gerakan ini tidak lagi bertumpu pada konteks dimana hukum eksis dan melihat hubungan kausal antara doktrin dan teks dengan realitas.
1. Dekonstruksi Versi Critical Legal Studies
Dekonstruksi dalam hukum merupakan strategi pembalik untuk membantu mencoba melihat makna istilah yang tersembunyi yang kadang telah cenderung diistimewakan melalui sejarah. Selain itu Dekonstruksi juga mempunyai gagasan tentang “free play of the text” yang mana setiap teks yang disusun termasuk keputusan hukum atau doktrin hukum dibebankan ketika teks itu disusun dengan kata lain melalui dekonstruksi teks mempunyai kehidupan sendiri.
2. Critical Legal Studies dan Rekonstruksi
Ahli-ahli CLS telah berkonsentrasi pada fungsi-fungsi hukum yang fasilitatif, represif dan ideologi. Hubungan antara aturan hukum dan pemenuhan nilai-nilai sosial penting dalam kritik mereka tentang apa dan didalam proyeksi mereka dan akan seperti apa proyek mereka. Walaupun sebagian besar ahli CLS setuju bahwa bentuk hukum yang sekarang bersifat represif, ada ketidaksepakatan mengenai tujuan, ruang lingkup dan bentuk hukum yang diinginkan da;am masyarakat yang lebih humanistik. Bahka visi tentang masyarakat yang “baik” tidak jelas.
D. Feminis Juriprudence
Feminis Juriprudence mencoba secara fundamental menentang beberapa asumsi penting dalam teori hukum konvensional dan juga beberapa kebijaksanaan konvensional dalam penelitian hukum kritis.Kaum ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran feminis dalam filsafat, psikoanalisis, semiotik, sejarah, antropologi, post modernisme, kritik sasra dan teori politik. Tetapi lebih jauh dan mendasar  gerakan ini lebih melihat dan mengambil dari pengalaman-pengalaman yang dialami kaum wanita.
Paham ini memiliki keterkaitan dengan critical legal studies, dimana tahun 1985 pertemuan tahunan critical legal studies mempunyai tema Feminimisme dan hukum, tahun 1987 temanya adalah rasisme dan hukum kemudian tahun 1992 pada konferensi tahunan, keanggotaan CLS disusun dari beberapa sponsor (sponsor lain ahli-ahli teori tentang ras dan feminist)
1. Pergerakan Hak-Hak Wanita
Feminis jurisprudensi telah menempatkan dilema bagi aktivis garis depan dimana perempuan yang membawa tuntutan harus membuktikan tidak hanya “perbedaan statistik” tetapi juga wanita dan pria mempunyai “kepentingan yang sama”. Disatu sisi hukum mendukung pemberdayaan, mempunyai akses untuk melawan sejumlah penyalahgunaan dan pembatasan pada realisasi nilai-nilai sosial yang menghasilkan perubahan, disisi lain bekerja dalam kategori hukum seringkali memperkuat legitimasi alat-alat hukum, aturan-aturan hukum ideologi dan pada akhirnya aturan laki-laki.
Dengan kata lain pengakuan upaya dialektika mengharuskan suatu pendekatan yang lebih komprehensif untuk suatu jurisprudensi feminis dimana baik pengalaman konkrit wanita dan juga teori dalam hukum yang lebih komprehensif perlu diintegrasikan.
2. Metode Feminis dalam Hukum
Yang diperlukan dalam aliran ini adalah metode Legal Feminist yang menyebutkan tiga fokus utama yang penting, antara lain ; bertanya kepada perempuan, pemahaman praktis feminist dan yang ketiga adalah munculnya kesadaran.singkatnya metode ini lebih difokuskan baik pada dekonstruksi dan rekonstruksi.
E. Hyperrealitas dan Implikasinya Terhadap Teori Hukum
Hyperrealitas adalah suatu situasi dimana realitas telah digantikan oleh suatu yang tidak real yang melampaui citra aslinya, keaslian dan dunia kultural lenyap secara tiba-tiba (contohnya seperti “orang lebih percaya televisi daripada kejadian sebenarnya) sehingga realitas telah tersingkir dan tereduksi dari posisinya.
Didalam hukum, Hyperrealitas menyebabkan struktur hukum perlahan-lahan “diperkosa” dan dicabut atau dipreteli, hukum akan muncul atau memperlihatkan wujud yang abjek, yang muncul dalam bentuk keputusan yang ditandai dengan keserakahan dan muslihat birokrasi, turbulensi dan noise. Lebih ekstrimnya hukum adalah libido kekejaman, ekstasi kejahatan dan semangat kegilaan yang ditukangi oleh parasit hukum guna melakukan manuver-manuver yaitu membuat simulacra hukum dengan menciptakan huruf dan kalimat yang tersusun rapih dalam sebuah teks undang-undang dan sejenisnya.
BAGIAN 8
MENUJU PEMIKIRAN HUKUM PROGRESIF DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Hukum Indonesia banyak catatan untuk dikaji, salah satunya adalah menurut Satjipto Rahardjo. Mendefinisikan hukum adalah sebagai sebuah tatanan yang utuh (holistik) selalu bergerak baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil. Hukum bukanlah sekedar logika semata tetapi merupakan ilmu sebenarnya yang harus selalu dimaknai sehingga selalu up to date.
Pemikiran progresif menurut Beliau maksudnya adalah semacam refleksi dari perjalanan intelektualnya. Hukum bukanlah sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah “ilmu”.
B. Profesi dan Ilmu
Sejak lahirnya program pascasarjana dalam pendidikan hukum di Indonesia pada 1990-an, maka dikatakan sebagai revolusi, oleh karena sejak dibuka rechtshogeschool di zaman kolonial Belanda pada 1922-an, maka Indonesia hanya mengenal program profesi saja. Maka sesungguhnya revolusionerlah sifat atau kualitas perubahan pada pertengahan tahun 1980-an itu, mulai saat itu Indonesia tidak hanya mengenal pendidikan profesi, melainkan juga keilmuan, khususnya dalam bidang hukum.
Menurut Beliau ilmuan hukum diajak untuk menjelajah hukum secara luas dan mempunyai kewajiban untuk upaya pencarian kebenaran dan proses inilah sebenarnya yang disebut sebagai proses pemaknaan terhadap hukum, bahwa tugas ilmuan adalah mencerahkan masyarakat sehingga dunia pendidikan memberikan kontribusi dan tidak melakukan pemborosan.
C. Ilmu Hukum Yang Selalu Bergeser.
Pada dasarnya ilmu adalah sebagai sesuatu yang terus bergeser, bergerak, berubah dan mengalir, demikian pula dengan ilmu hukum. Perubahan itu tentu saja dimaknai secara bervariasi oleh setiap orang yang mencermatinya, namun hakekat utamanya jelas bahwa lahirnya teori kuantum adalah penjelasan paling logis bahwa ilmu senantiasa berada di tepi garis yang labil.
Menurut Satjipto Rahardjo, teori pada dasarnya sangat ditentukan oleh bagaimana orang atau sebuah komunitas memandang apa yang disebut hukum, artinya apa yang sedang terjadi atau perubahan apa yang tengah terjadi dimana komunitas itu hidup sangat berpengaruh terhadap cara pandangnya tentang hukum.
D. Kritik Terhadap Hukum Modern
Kritik terhadap hukum modern menurut Satjipto telah mengerangkeng kecerdasan berfikir kebanyakan ilmuan hukum di Indonesia. Sejak munculnya hukum modern seluruh tatanan sosial yang ada mengalami perubahan yang luar biasa dimana tidak terlepas dari munculnya degara modern yang bertujuan untuk menata kehidupan masyarakat dan pada saat yang sama kekuasaan negara menjadi sangat hegemonial sehingga seluruh yang ada dalam lingkup kekuasaan negara harus diberi label NEGARA, undang-undang negara, peradilan negara, polisi negara dan seterusnya. Bagi hukum, ini merupakan puncak sebuah perkembangan yang ujungnya berakhir pada dogmatisme hukum, liberalisme, kapitalisme, formalisme dan kodifikasi.
Uraian diatas adalah sketsa singkat pemikiran seorang yang selalu berada dijalan ilmu, upaya dan semangat yang dikembangkan dengan terus berusaha mencermati perubahan yang terjadi. Gagasan Beliau ini tidak saja memperkaya pengetahuan hukum tetapi lebih dari itu memberikan sebuah keteladanan bahwa kewajiban bagi seorang ilmuan adalah selalu bersikap rendah hati dan terbuka serta memiliki semangat untuk senantiasan berada pada jalur pencaharian, pembebasan dan pencerahan dan ini semua adalah hakekat dari apa yang disebut dengan PEMIKIRAN HUKUM PROGRESIF.
BAGIAN 9
MEMAHAMI PERSOALAN KITA
A.Pendahuluan
Sulit untuk menguraikan penyebab utama dari seluruh persoalan yang menimpa hukum di Indonesia, tidak saja bersangkut-paut dengan masalah substansial (produk hukum yang ketinggalan zaman), lebih dari itu penegakan dan komitmen moral yang lemah telah ikut menyebabkan banyaknya persoalan yang muncul.
Tetapi, terlepas dari semuanya, kita harus menyadari bahwa persoalan yang terjadi saat ini bersifat akumulatif dan bervariasi, masalah tidak bergerak linier tetapi berputar-putar sehingga sulit mencari akar permasalahannya, saling terkait, tapi itulah sebuah konsekuensi yang harus ditanggung dari kondisi kehidupan hukum yang kumuh.
B Sebuah Alternatif
Proses degradasinya hukum kedalam situasi yang paling ekstrim dari apa yang disebut dengan kehancuran atau kekacauan merupakan titik berangkat untuk menata, memperbaiki dan membangun kembali puing-puing hukum yang hancur, karena dari kondisi ini kita dapat menyusun asumsi-asumsi, menelaah kembali serta menyusun prioritas kebutuhan yang diperlukan untuk kepentingan pembangunan sehingga dengan jelas dapat ditentukan misi apa yang hendak dilakukan dalam pembangunan hukum kedepan, hukum seperti apa yang didambakan.
Menurut Hoebel ada empat fungsi dasar hukum, yaitu :
1. menetapkan hubungan antara anggota masyarakat dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku apa yang diperkanankan dan apa pula yang dilarang.
2. menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa-siapa saja yang boleh secara sah menentukan paksaan serta siapa yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksi yang efektif
3. menyelesaikan sengketa
4. memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah dengan cara merumuskan kembali hubungan antar para anggota masyarakat.
C. Harmoni Pembangunan Hukum
Kita telah terlanjur terbiasa untuk memandang hukum sebagai suatu yang bersifat represif dan memandang konstitusi hanya sebagai wadah perjanjian persetujuan belaka sehingga kita mengabaikan kekuatan besar yang sebenarnya terkandung didalam konstitusi dan didalam setiap sistem hukum manapun yaitu kekuatan yang mampu memaksa hukum agar dapat diterima dan lestari hidup.
Agar sistem hukum dapat berjalan baik, ada empat gagasan menurut Parsons :
1. Masalah legitimasi (landasan bagi pentaatan kepada aturan).
2. Masalah interpretasi (penetapan hak dan kewajiban subjek hukum, melalui proses penerapan aturan tertentu).
3. Masalah sanksi (sanksi apa, bagaimana penerapannya dan siapa yang menerapkannya).
4. Masalah Yuridiksi (Penetapan garis kewenangan yang kuasa menegakkan norma hukum dan golongan apa yang hendak diatur oleh perangkat norma itu).
Namun harus dipahami bahwa sistem hukum akan berkaitan dengan sistem politik (khususnya mengenai yuridiksi) oleh karena itu meski secara analitis dapat dipisahkan, hal ini berkaitan dengan diletakkannya peradilan sebagai posisi sentral di dalam tertib hukum sedangkan perumusan kebijakan melalui badan legislatif sebagai inti kekuasaan politik.
Apabila berbicara mengenai proses yang tertuang dalam UUD 1945 yang terdiri dari beberapa alenia, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa yang terkandung didalam 4 alenia pembukaan tersebut adalah :
1. Pembukaan alenia pertama, secara substansial mengandung pokok pri keadilan, konsep pemikiran yang mengarah kepada kesempurnaan dalam menjalankan hukum didalam kehidupan.
2.  Pembukaan alenia kedua, adil dan makmur, merupakan implementasi dari tujuan hukum yang pada dasarnya yaitu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
3. Pembukaan alenia ketiga, mengatur mengenai hubungan manusia denganTuhan atau penciptanya yang telah mengatur tatanan di dunia ini.
4. Pembukaan alenia keempat, mengenai lima sila dari Pancasila yang merupakan cerminan dari nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun-temurun dan abstrak yang Pancasila merupakan kesatuan sistem yang berkaitan erat tidak dapat dipisahkan.
Itulah hakikat utama dari pemahaman dan pemaknaan holistik. Secara keilmuan pemahaman ini akan memberikan warna yang berbeda tentang apa yang kita pahami dan apa yang akan kita lakukan. Dan tidak semata-mata hanya berbicara tentang persoalan hukum negara tetapi lebih jauh memahami konteks yang realistis dari upaya pembangunan hukum yang lebih terarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar